Shalat Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap
mukallaf (orang yang telah diberikan beban untuk menjalankan kewajiban agama)
dan aqil baligh sesuai dengan dalil yang menunjukkan bahwa shalat
Jum’at wajib bagi setiap
mukallaf, dengan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkannya, dan
dengan himmah (tekad) Rasulullah صلیي الله عليه
وسلم untuk membakar rumah orang-orang yang meninggalkannya1, tidaklah ada
hujjah yang lebih jelas daripada perintah yang termaktub di dalam
al-Qur’an yang mencakup
setiap individu muslim, di dalamnya diungkapkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah...” [QS: 62.
Al-Jumu’ah : 9]
Inilah argumentasi yang jelas.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Thariq
bin Syihab, sesungguhnya Nabi صلیي الله عليه وسلم bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَـى
كُلِّ مُسْلِمٍ فِـيْ جَمَـاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ :
عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ
مَرِيضٌ
“Shalat
Jum’at itu wajib bagi setiap
muslim dengan berjama’ah
kecuali kepada empat orang : hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang
sedang sakit”
Hadits ini dishahihkan bukan hanya oleh satu
Imam (ulama hadits).
IMAM BESAR
Adanya al-Imam al-A’zham (pemimpin besar untuk seluruh umat
Islam) bukan merupakan syarat bagi diwajibkannya shalat Jum’at, seandainya Rasulullah صلیي الله عليه
وسلم dan orang yang menggantikannya di dalam memimpin shalat
Jum’at menjadi dalil bagi
kewajiban adanya imam besar, niscaya hal itu pun berlaku bagi shalat-shalat yang
lainnya, karena shalat-shalat tersebut pun dipimpin oleh beliau صلیي الله عليه
وسلم pada zamannya dan oleh orang-orang yang diperintah olehnya. Karena
penyebabnya batal (tidak sah), maka hukum yang ada karenanya pun
batal.
Kesimpulan, syarat tersebut sama sekali tidak
berlandaskan kepada ilmu, bahkan yang mewajibkannya sama sekali tidak benar
bahwa hal itu riwayat dari sebagian Salaf, apalagi dari Nabi صلیي الله عليه وسلم karena itu
tidak ada manfaatnya memperpanjang masalah tersebut.
JUMLAH JAMAAH SHALAT JUM'AT
Shalat berjama’ah sah dilakukan walaupun hanya dengan
seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan shalat Jum’at merupakan salah satu dari
shalat-shalat wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan
yang ada pada shalat berjama’ah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya
dia tidak akan mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang
bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang
dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat
Jum’at sama dengan jumlah
pada shalat-shalat (berjama’ah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa
tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah tidak sah
kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti ini (jumlah
tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil, terlebih lagi sikap
tersebut merupakan kelancangan yang teramat sangat dan merupakan keberanian
untuk berbicara atas Nama Allah dan Rasul-Nya صلیي الله عليه
وسلم di dalam
syari’at-Nya.
Saya senantiasa merasa aneh kenapa hal itu
bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan dicantumkan di dalam buku-buku
bimbingan shalat, mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan
mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran,
pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu madzhab dari berbagai madzhab,
juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi secara
turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari Kitabullah! Padahal ia
hanya merupakan hadits khayalan belaka!
Aduhai! Apa bedanya ibadah ini dengan ibadah
yang lainnya? Bisakah syarat dan rukun-rukunnya serta wajibnya menjadi tetap
hanya dengan dalil, yang jika disodorkan kepada para peneliti niscaya mereka
tidak mungkin menjadikannya sebagai Sunnah, apalagi menjadikannya wajib apalagi
syarat?
Yang benar adalah sesungguhnya shalat
Jum’at merupakan kewajiban
dari Allah سبحانه و تعالى
yang merupakan syi’ar di antara syi’ar-syi’ar Islam dan merupakan salah satu bentuk
shalat dari berbagai macam shalat, maka barangsiapa menganggap adanya syarat
tertentu yang berbeda dengan shalat lainnya, maka ucapannya tidak akan didengar
(diterima) kecuali jika berlandas-kan atas dalil.
Jika pada suatu tempat hanya ada dua orang,
maka salah satu di antara keduanya berdiri menyampaikan khutbah, sedangkan yang
lainnya mendengarkan, kemudian mereka berdua melakukan shalat, [dengan itu
berarti mereka berdua telah melakukan] shalat Jum’at.
Kesimpulan, semua tempat layak untuk
melaksanakan kewajiban ini, jika di dalamnya ada dua
orang muslim sebagaimana shalat berjama’ah yang lainnya.
BANYAKNYA TEMPAT PELAKSANAAN SHALAT JUM'AT PADA SUATU NEGERI (WILAYAH)
Shalat Jum’at sama saja dengan shalat yang lainnya,
bisa dilakukan di beberapa tempat di satu daerah, sebagaimana shalat
berjama’ah lainnya yang
dilakukan pada tempat yang berbeda pada satu daerah. Barangsiapa meyakini
pendapat lainnya, maka pendapat tersebut hanya bersandarkan atas akal semata.
Pendapat tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, seandainya
keyakinannya berdasarkan atas sebuah riwayat, maka tidak ada satu riwayat pun
yang mendukungnya.
Kesimpulan, sesungguhnya larangan mendirikan
dua Jum’at pada satu
wilayah, walaupun dia mengata-kan bahwa di antara syarat sah Jum’at adalah tidak adanya shalat
Jum’at lain pada satu
daerah, maka saya katakan dari manakah pendapat ini berasal? Dan apakah ada
dalil yang menjadi landasan bagi pendapat tersebut? Jika mereka hanya
berlandaskan atas tidak adanya izin dari Rasulullah صلیي الله عليه
وسلم untuk mendirikan Jum’at selain di masjid Madinah dan perkampungan yang ada di
sekitarnya. Maka sesungguhnya hal ini -selain tidak layak untuk dijadikan dalil
akan adanya syarat yang mengandung kebathilan, bahkan atas kewajiban yang ada di
bawahnya- harus diterapkan pula pada shalat-shalat wajib yang
lainnya, maka tidaklah sah melakukan shalat Jum’at pada satu tempat yang belum pernah
diizinkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم untuk
melakukannya, ini jelas merupakan dalil paling bathil.
Selanjutnya, seandainya batalnya satu
Jum’at yang lain dari dua
tempat pelaksanaan Jum’at, ketika Anda mengetahui karena adanya sesuatu penghalang, maka
apakah penghalang tersebut? Karena pada dasarnya adalah sahnya suatu peribadatan
di mana saja ia lakukan dan kapan saja kecuali adanya dalil yang menunjukkan
larangan, sedangkan di dalam masalah ini sama sekali tidak ada
larangan
TIPS PRAKTIS
TIPS KHUTBAH JUM'AT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar